Mahasiswa UI Ciptakan Inovasi Slang Pengisi Lambung

Diposting oleh HIMATEM | Minggu, Desember 14, 2014 | , | 0 Komentar »

Berawal dari Kesalahan Pemasangan yang Nyasar ke Paru-Paru



Sigit Mohammad Nuzul dan Adeline Sthevany telah menjadi oase dengan karya inovasi Safety Nasogastric Tube. Alat itu menjaga keselamatan pasien dalam pemasangan slang dari hidung ke lambung.
Laporan M. Hilmi Setiawan, Jakarta

BAGI orang awam, inovasi yang diciptakan Sigit Mohammad Nuzul dan Adeline Sthevany, dua mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) Universitas Indonesia (UI), mungkin dipandang sederhana. Tidak seperti kebanyakan karya inovasi yang terkesan rumit dan detail.

Karya mereka hanya berupa sebuah slang kecil sepanjang 1 meter dengan sedikit modifikasi di kedua ujungnya. Tetapi, jangan diremehkan, karena alat Safety Nasogastric Tube (SNT) itu punya manfaat besar untuk menghindarkan pasien mengalami kritis dari kematian. Berkat manfaatnya yang besar itulah, karya inovasi tersebut diganjar penghargaan sebagai juara Kontes Hak Kekayaan Intelektual (HKI) UI 2014 yang diumumkan Senin lalu (1/12). Sebagai pemenang, penyelenggara akan memfasilitasi dan menanggung seluruh biaya pematenan karya Sigit dan Vany, panggilan dua peneliti muda itu.

Yang istimewa, Sigit adalah mahasiswa ”baru” di FIK UI. Dia baru mulai menjalani proses perkuliahan di Kampus Kuning –julukan UI– per September 2014. Sebelumnya Sigit adalah instruktur praktikum PNS (pegawai negeri sipil) di Politeknik Kesehatan Palu. Dia mendapatkan beasiswa untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan dari D-3 ke S-1 di UI.
”Begitu masuk kuliah, saya langsung tertarik mengikuti lomba HKI itu. Jadi, tidak perlu proses lama untuk menyiapkan karya ini,” ujar pria kelahiran Palu, 24 April 1989, tersebut saat ditemui di kampusnya Kamis lalu (4/12).

Sigit mengaku sudah lama memendam pikiran tentang sering terjadinya kesalahan dalam proses memasukkan slang Nasogastric (NG) Tube. Padahal, banyak penanganan medis darurat yang membutuhkan keahlian dalam pemasangan NG Tube. Di antaranya pasien stroke yang terpaksa ”makan” melalui slang yang dimasukkan hingga ke lambung. Selain itu, pasien kanker, sepsis, dan koma yang panjang.

”Slang itu harus dimasukkan ke lambung melalui lubang hidung pasien,” kata alumnus Akademi Keperawatan Palu tersebut.

Nah, saat pemasangan NG Tube itulah, sering terjadi masalah. Slang dari hidung yang seharusnya ke lambung menyasar ke paru-paru atau organ dalam lainnya.

Kok bisa? Suami Fitriani Udin itu menjelaskan, kesalahan pemasangan NG Tube bisa terjadi saat slang memasuki percabangan di faring. Yakni saluran pencernaan menuju lambung dan saluran pernapasan menuju paru-paru. Ketika sudah di faring, harus bisa dipastikan slang NG Tube masuk ke saluran pencernaan. Namun, dalam prosedur medis saat ini, belum ada upaya yang bisa mencegah kesalahan memasukkan NG Tube tadi.

Di dunia keperawatan, skema yang lazim dilakukan adalah menggunakan kertas pemantau PH. Perawat harus menyedot cairan dari slang yang sudah dimasukkan ke lambung. Ketika PH bernilai 1–5,5, bisa dipastikan slang itu sudah benar masuk ke lambung. Tetapi, ketika pengukuran PH menunjukkan nilai di atasnya, sangat mungkin slang masuk ke paru-paru.

”Kalau sudah salah masuk ke paru-paru, slang harus ditarik lagi.Bisa dibayangkan rasa sakitnya pada pasien,” ungkap bapak satu anak itu.

Cara lain untuk memastikan apakah slang NG Tube tadi masuk ke lambung atau ke paru-paru adalah pencitraan X-ray. Tetapi, upaya tersebut membutuhkan alat khusus dan biaya mahal. Padahal, potensi pasien yang membutuhkan NG Tube ini sampai di pelosok-pelosok pedesaan.

Atas kegelisahan dari kesalahan pemasangan NG Tube itulah, Sigit bersama Vany lalu berinovasi dengan menciptakan alat Safety Nasogastric Tube. Inovasi berupa modifikasi dia lakukan di kedua ujung slang. Di ujung slang yang akan dimasukkan ke dalam lambung, mereka memberi lubang sebanyak enam titik. Enam lubang itu dibuat di 3 cm sebelum ujung slang. Modifikasi lainnya ada di ujung slang tempat memasukkan makanan cair.

Di ujung itu, Sigit dan Vany membuat semacam kantong dari bahan plastik khusus medis. Kemudian, di bagian ujungnya diberi tambahan plastik klip seperti yang biasa dipakai bungkus pil atau kapsul. Klip itu berfungsi mencegah udara dari dalam kantong berukuran sekitar 5 x 7 cm tersebut keluar.

”Inti utama dari inovasi saya ini adalah mencegah sedini mungkin slang itu salah masuk ke paru-paru,” ujarnya.
Cara kerjanya, ujung slang yang sudah diberi enam lubang kecil dimasukkan melalui hidung seperti biasanya. Dengan skema pengukuran panjang tertentu, bisa diperkirakan mulut slang itu sudah hampir masuk faring. Kemudian, slang dimasukkan ke faring sedalam 2 cm. Lalu, ditunggu apakah kantong plastik di ujung satunya kembang kempis atau tidak. Jika kantong plastik itu kembang kempis, berarti slang masuk ke saluran pernapasan. Sebab, slang tersebut teraliri udara dari sistem pernapasan pasien.

’’Jika kantongnya kembang kempis, slang harus segera dicabut, tapi cukup sekitar 2 cm saja,’’ jelasnya.
Setelah itu, dimasukkan kembali ke saluran penceranaan. Indikasi bahwa slang tersebut masuk ke saluran pencernaan terlihat dari kantong plastik yang tidak kembang kempis lagi. Dengan skema pendeteksian dini seperti itu, Sigit yakin kesalahan memasukkan slang tidak sampai terjadi. Sebab, kesalahan itu bisa berdampak fatal. Slang tersebut bisa mengakibatkan paru-paru terluka.

’’Paru-paru yang terluka bisa membuat penyakit baru yang ketahuannya beberapa waktu ke depan,’’ jelasnya.
Saat masih mahasiswa, Sigit pernah mengetahui kesalahan pemasangan slang untuk lambung itu. Setelah diketahui slang tersebut masuk paru-paru, kondisi pasien langsung memburuk. Beberapa hari kemudian, pasien itu meninggal.
Anak pertama di antara lima bersaudara tersebut menjelaskan, modivikasi kantong plastik di mulut slang memiliki banyak fungsi. Selain bisa kembang kempis untuk mendeteksi udara, kantong tersebut bisa menjaga kebersihan mulut slang. Dia mengatakan, mulut slang itu rawan terkontaminasi bakteri. Akan menjadi fatal jika bakteri dari mulut slang tersebut masuk sampai ke lambung.

Terkait karya inovasinya itu, Sigit sudah mengecek ke website-website paten di luar negeri, memang belum ada duanya. Di Singapura sejatinya ada inovasi untuk mencegah terjadinya kesalahan pemasangan slang NG Tube masuk ke paru-paru.

’’Tetapi, inovasi dari Singapura itu butuh peralatan eksternal yang harus beli lagi,’’ jelasnya.
Inovasi dari negeri jiran tersebut, sejenis bahan magnetik dipasang di mulut slang yang dimasukkan ke lambung. Setelah melewati faring, dilakukan pemindaian sinyal magnetik dengan bantuan alat eksternal. Dengan indikator tertentu, bisa diketahui slang NG Tube itu masuk saluran pernapasan atau pencernaan.

Tapi, kata Sigit, alat dari Singapura itu tidak cocok diterapkan di Indonesia yang unit layanan kesehatannya tersebar hingga desa-desa. Bagi dia, inti dari inovasinya adalah menghadirkan peralatan medis yang berdaya guna tinggi, tetapi tidak terlalu mahal harganya. Untuk membuat prototipe inovasinya itu, misalnya, Sigit hanya mengeluarkan biaya tidak sampai Rp 100 ribu.

Karena itu, jika pengurusan hak paten atas inovasinya tersebut keluar, Sigit berharap, ada perusahaan alat kesehatan yang bersedia memproduksi masal. Selain untuk mencegah terjadinya kesalahan pemasangan slang NG Tube, juga bisa menjadi sumber devisa bangsa jika sampai diekspor

sumber :http://www.jpnn.com/

0 Komentar

Posting Komentar